Entri Populer

Senin, 08 Oktober 2012

Seni dan Mysterium Tremendum Et Fascinosum


  Seni dan Kaitannya dengan Standart Excellence of The Art Sampai Ke Titik Mysterium Tremendum Et Fascinosum.

Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih bisa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi, atau perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu.
Sekalipun demikian, banyak seniman mendapat pengaruh dari orang lain ataupun masa lalu, dan juga beberapa garis pedoman sudah muncul untuk mengungkap gagasan tertentu lewat simbolisme dan bentuk (seperti bakung yang bermaksud kematian dan mawar merah yang bermaksud cinta). Seni adalah ekspresi, didalam hal ini merupakan implementasi yang pada awalnya dilandaskan dari bagaimana manusia mengembangkan perasaannya terhadap Tuhan (Maha Agung), Sang pencipta dan pemelihara kehidupan. Umumnya, perasaan itu dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
Yang pertama, manusia merasa gentar. Allah dialami dan dirasakan manusia sebagai sesuatu yang dasyat, sangat berkuasa, tak terhampiri, kudus, luar biasa keagunganNya. Manusia merasakan hal seperti ini ketika berhadapan dengan kematian, merenungkan kebesaran dan keindahan alam semesta ciptaaan Tuhan, bencana alam, gerhana dan sebagainya. Di hadapan hal seperti itu, manusia merasa dirinya kecil dan tak berdaya. Tuhan adalah “ Pribadi” yang menggentarkan atau mysterium Tremendum (kata latin Tremendum berarti: mendahsyatkan atau menggentarkan).
Kedua, manusia merasa tertarik dan terpesona. Allah dialami atau dirasakan sebagai “Pribadi” yang baik, penuh kasih, peduli, menyenangkan, menenteramkan dan menakjubkan. Manusia merasakan hal seperti itu ketika berhadapan dengan peristiwa kelahiran, kesembuhan, kesuksesan, hasil panen, pergantian malam dan siang, pergantian musim, pertolongan dan penyertaan Tuhan dalam hidupnya dan lain sebagainya. Dihadapan Allah yang seperti itu manusia merasa damai  dan bahagia. Allah dilihat manusia sebagai “Pribadi” yang menggemarkan atau mysterium fascinosum (kata latin fascinans berarti mengasyikkan atau menggemarkan).
Jadi, Tuhan dilihat sebagai kuasa yang menggentarkan tetapi sekaligus juga yang menggemarkan. Konsep inilah yang disebut Numinosum tremendum et fascinosum; yang dikembangkan oleh Rudolf Otto, seorang ahli teologi agama-agama. Tetapi jauh sebelum itu, Augustinus, seorang Bapa Gereja yang hidup pada abad ke-4, sudah menyatakannya ketika ia berkata:
“Apa itu
Yang bercahaya sedikit demi sedikit dalam diriku
Dan yang memukul hatiku tanpa melukainya?
Kegentari
Dan kugemari sekaligus
Kugentari sejauh aku berbeda denganNya
Kegemari sejauh aku serupa denganNya.”
Oleh karena sikap gentar dan gemar itulah dari lubuk hati manusia lahir kesadaran betapa kecil dirinya di hadapan Tuhan,  betapa lemahnya dia tetapi betapa kuat dan dahsyatnya Tuhan, betapa berdosanya manusia tetapi betapa kudus dan besar kasih setiaNya Tuhan. Sikap gentar dan gemar ini jugalah yang mendorong lahirnya seni seperti mazmur-mazmur pujian dan lagu-lagu hymne, seperti Haleluya Chorus-nya Handel,  atau pujian rohani lainnya yang mengagungkan kebesaran nama Tuhan. Selain itu, sikap gentar dan gemar terhadap Tuhan pada akhirnya juga akan mendorong seseorang untuk berdoa dan melayaniNya.
Sebuah ungkapan hati yang berisikan getaran-getaran jiwa yang mau memperlihatkan rasa gentar dan sekaligus rasa gemarnya kepada Allah tampak dalam untaian katanya yang bertutur  demikian:
Sayup-sayup kurasakan segarnya angin berlalu
Mengeringkan gumpalan peluhku yang mengucur
Semilir angin menyegarkan kulit tubuhku yang mulai keriput
Menggoyang-goyang tulang-tulangku
Menggetarkan getar-getar halus sanubariku
Lama kurasakan dada sejuk menyegarkan
Kubiarkan kulit keriput menghitam oleh sang surya
Kubiarkan pandangan mataku menerawang kebesaran ciptaanMu
Kubiarkan pendengaranku diselubungi kabar kelembutan kasihMu yang mengagumkan
Kubiarkan pengecapku merasakan rasa damai yang Kau curahkan di alam ini
Oh Bapa, Maha besar
Walau sering aku berlari meninggalkan anugerah keselamatanMu
yang kudapat cuma-cuma
FirmanMu terus menerus menegurku
Tak kuasa aku memberontak dari pelukanMu
Oh Tuhan, sumber hidupku
DamaiMu membuat kekerasan hati menjadi lembut
KasihMu memberi jalan kelepasan
PengorbananMu di kayu salib meruntuhkan dinding dinding pemisah
Sekarang aku tidak pernah kuatir
Karena selalu berada dalam pelukanMu
Sampai akhir hayatku
(karya: dr. Paulus Purnomo)
Berdasarkan Sakramen Perjamuan Kudus  inilah, para kristius mengajak manusia untuk mengenang dan merefleksikan ulang makna pengorbanan dan kematian Kristus yang sebetulnya dapat kita (non Kristen) tafsirkan tidak dalam konteks agama melainkan memandang refleksi tertinggi ini dari sisi seni. Yaitu seni untuk sang “Mysterium Trenmendum Et Fascinosum” yang dimana pengertiannya adalah “Misteri yang Luar Biasa dan Menarik.”

Seni bukan mutlak sesuatu yang harus indah, karena sesuatu yang indah hanyalah ukuran kecil bagaimana kita menikmati suatu karya. Seni adalah  sesuatu yang dilalui melalui proses/ prosedur yang pada mulanya adalah proses dari manusia. seni merupakan sinonim dari ilmu, karena seni selalu memberikan pesan tersimpan. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih bisa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi, atau perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu.
Banyak seniman mendapat pengaruh dari orang lain ataupun masa lalu, dan juga beberapa garis pedoman sudah muncul untuk mengungkap gagasan tertentu lewat simbolisme dan bentuk (seperti bakung yang bermaksud kematian dan mawar merah yang bermaksud cinta). Seni adalah ekspresi, didalam hal ini merupakan implementasi yang pada awalnya dilandaskan dari bagaimana manusia mengembangkan perasaannya terhadap Tuhan (Maha Agung), Sang pencipta dan pemelihara kehidupan.
Berdasarkan beberapa sakramen perjamuan kudus , para kristius melalui otto mengajak manusia pada zamannya untuk mengenang dan merefleksikan ulang makna pengorbanan dan kematian Kristus melalui pesan yang tersirat melalui seni seperti mazmur-mazmur pujian dan lagu-lagu hymne, seperti Haleluya Chorus-nya Handel,  atau pujian rohani lainnya yang mengagungkan kebesaran nama Tuhan yang sebetulnya dapat kita (non Kristen) tafsirkan tidak dalam konteks agama melainkan memandang refleksi tertinggi ini dari sisi seni. Yaitu seni untuk sang “Mysterium Trenmendum Et Fascinosum” yang dimana pengertiannya adalah “Misteri yang Luar Biasa dan Menarik.” Mengenai ketuhanan yang merupakan Maha dari segala-galanya berdasarkan siapapun penganutnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar